Publik (Kritis) Dukung Kapolres Ende (Proses Hukum Kasus Dana Hibah KONI Ende)

Editor : Redaksi
  • Bagikan
Koran Timor

Oleh Steph Tupeng Witin

Penulis Buku “Dusta di Bilik Kuasa” (JPIC OFM 2019)

Swipe up untuk membaca artikel

 

KORANTIMOR.COM – Awal tahun 2023, Kabupaten Ende kembali diguncang tsunami dugaan korupsi dana hibah KONI Cabang Ende senilai Rp2,1miliar. Dana hibah itu adalah uang rakyat Ende yang dihibahkan melalui Dinas Pendidikan dan Olahraga (Diaspora) Ende. Soal utamanya adalah dana hibah itu tidak dapat dipertanggungjawabkan pada waktunya. Ketika publik dan media (kritis) ribut, barulah pengurus KONI tergopoh-gopoh dalam ketakutan merajut bukti sana sini untuk mengutuhkan kembali tenunan yang telah koyak. Pengurus KONI Ende justru menjadi blunder melalui pernyataan “asal omong” semakin terang membuka borok kepemimpinan KONI. Ketua Harian KONI Ende, Fransiskus Taso adalah nama yang telah melegenda karena berpengalaman, malang-melintang dalam kasus-kasus korupsi di Kabupaten Ende. Selain Fransiskus Taso, ada juga nama Yulius Cesar Nonga (PKB) yang menjadi Manajer Perse Ende merangkap Bendahara KONI dan Sabri Indradewa (PDIP) sebagai Ketua Askab Ende. Nama-nama ini bukan baru untuk rakyat Kabupaten Ende yang masih punya sedikit ruang untuk membaca kehidupan publik.

Fransiskus Taso dan Sabri Indradewa tercatat dalam kasus dugaan korupsi gratifikasi PDAM yang hingga kini masih tersimpan di laci Polres Ende. Selain itu, publik Ende mesti tidak boleh lupa bahwa dalam kasus dugaan korupsi gratifikasi PDAM sebagaimana tercatat resmi nama-nama dalam putusan Praperadilan Nomor 02/Pid.Pra/2018/PN.End. Pengadilan Negeri Ende tanggal 26 Maret 2018: Fransiskus Taso (Ketua DPRD Ende/PDIP), Orba K. Ima (Gerindra), Sabri Indra Dewa (PDIP), Erikos Rede (pimpinan sidang kasus PDAM Ende/Nasdem), Oktafianus Mosa Mesi (Nasdem), Heri Wadhi (Golkar), Jhon Pella (Golkar) dan Kadir Mosa Basa (PKB). Nama Wakil Ketua DPRD, Erikos Rede patut diduga kuat terlibat karena dia yang memimpin Sidang Paripurna Penetapan Perda tersebut. Orang yang memimpin sidang sekelas sidang paripurna tanpa tahu substansi patut diduga sudah jadi arwah.

Baca Juga :  Lakmas Minta Kejati NTT Tuntaskan Kasus Dugaan Korupsi Proyek Pengerjaan Jalan Oleh PT. SKM Senilai Rp 15 Milyar

Nama Fransiskus Taso dan Yulius Cesar Nong muncul dalam laporan hasil audit internal yang dilakukan oleh Inspektorat dalam LHP terkait temuan di Sekretariat DPRD senilai kurang lebih Rp972.900.000 bersumber dari Dana UP T.A 2020. Melalui LHP ini,  terungkap bahwa uang senilai tersebut dipinjam pakai oleh beberapa oknum anggota DPRD Ende dan diberikan kepada pihak Kejaksaan Negeri Ende sesuai dengan catatan yang dibuat oleh mantan Kabag Keuangan Setwan Ende yang diperintahkan oleh salah satu mantan pimpinan DPRD Ende dan ditandatangani bendahara. Menurut catatan Bendahara Setwan Ende 2020, Rustam Rado yang telah beredar luas di publik, nama-nama oknum pimpinan dan anggota DPRD yang meminjam uang tertera jelas: Fransiskus Taso (Ketua DPRD Ende/PDIP): Rp15 juta, Tibertius Didimus Toki (Wakil Ketua DPRD/Hanura): Rp10 juta, Emanuel Erikos Rede (Wakil Ketua DPRD/Nasdem): Rp70 juta, anggota DPRD Yulius Cesar Nonga (Yoram)/PKB: Rp13 juta, anggota DPRD Yohanes Don Bosco Rega (Oni)/Nasdem: Rp7 juta dan anggota DPRD, Muhamad Orba K. Imma/Gerindra: Rp5 juta.  Emanuel Erikos Rede yang saat itu menjadi Wakil Ketua DPRD Ende patut diduga kuat menjadi petugas yang mengantar uang sebesar Rp125 juta ke Kejaksaan Negeri Ende. Pejabat selevel Erik Rede yang merendahkan dirinya menjadi kurir tentu menunjukkan situasi “genting.”

Nama-nama itu bukan orang asing dalam pusaran narasi kasus-kasus dugaan korupsi dana publik di Kabupaten Ende. Publik patut menduga kuat bahwa modal jabatan sebagai wakil rakyat ternyata dijadikan semacam batu loncatan untuk memuaskan kerakusan jabatan lain. Dugaan semakin kuat kalau jabatan lain itu bergelimang anggaran yang juga mereka putuskan di lembaga DPRD. Ketika dana hibah KONI Ende mencuat dalam narasi dugaan korupsi, anggota DPRD Ende mana yang bisa berani memanggil Feri Taso, Yulius Nong Cesar dan Sabri Indradewa untuk dimintai klarifikasi sebagai pelaksanaan fungsi kontrol DPRD? Apakah DPRD Ende mampu dan berani mengontrol anggota DPRD Ende yang perilakunya persis dinas pendidikan dan olahraga (Diapora)? Apa khabar Badan Kehormatan (BK) DPRD Ende?

Baca Juga :  Modus Fraud Insider Trading Perbankan

Pertanyaan publik terkait rangkap jabatan dari para wakil rakyat terjawab dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Regulasi ini mengatur dengan jelas posisi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perkawilan Rakyat Daerah (Pronvinsi/kabupaten/kota): melarang anggota DPR, DPRD provinsi maupun DPRD kabupaten/kota merangkap jabatan sebagai: (a) pejabat negara lainnya (b) hakim pada badan peradilan (c) pegawai negeri sipil (d) anggota Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia (e) pegawai pada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD (f) pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta (g) akuntan publik (h) konsultan (i) advokat atau pengacara (j) notaris; dan (k) pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan wewenang dan tugas DPR/DPRD provinsi/DPRD kabupaten/kota serta hak sebagai anggota DPR/DPRD provinsi/DPRD kabupaten/kota.

Kasus rangkap jabatan tiga anggota DPRD Ende ini memang jelas melanggar regulasi. Apakah Badan Kehomatan DPRD Ende bisa bertindak? BK DPRD Ende hanya akan bertindak dengan leluasa kalau “ekornya” masih bebas alias tidak dipegang oleh “bos besar ring tinju” DPRD Ende. Selama ini, orang-orang yang diduga melegenda karena kasus-kasus korupsi di Ende merasa bahwa hanya merekalah yang bisa mengatur Ende ini sekehendak hasrat dan perutnya. Permainan kotor dan busuk ini telah berlangsung lama tapi orang-orang yang sama itu tidak pernah akan mengalami kepuasan. Orang-orang ini memiliki kelompok “pagar dungu” yang berseliweran di ruang-ruang media sosial anonim lalu berceloteh persis kakatua kelaparan. Orang-orang ini hidup dari tinja korupsi yang dijatuhkan dari pinggir meja kuasa elite yang dibela dengan menjual martabatnya.

Baca Juga :  Polres Malaka Segera Pulbaket Kasus Dugaan Korupsi Rp 2,7 Milyar di Distan Malaka

 

Dukung Polres Ende

Kasus dugaan korupsi dana hibah KONI NTT sedang dalam proses penanganan aparat Polres Ende. Hingga saat ini belum ada gelar perkara dan penetapan tersangka. Kasusnya masih dalam tahap penyelidikan. Polisi tentu bekerja profesional dalam mengumpulkan bukti dan data yang diperlukan. Kapolres Ende, AKBP Andre Librian, S.I.K tampaknya punya komitmen yang besar untuk memroses kasus ini. Publik menantang Kapolres Andre: apakah berani menetapkan tersangka dalam kasus dana hibah KONI Ende ini? Rakyat Ende selama ini telanjur yakin bahwa Polres Ende adalah institusi yang menghentikan kasus-kasus yang diduga kuat melibatkan elite birokrasi dan DPRD Ende. Polres Ende ibarat kuburan bagi kasus-kasus yang diduga kuat melibatkan elite politik dan birokrasi Ende. Dalam kasus pembunuhan Ansel Wora, misalnya sangat kuat dan patut diduga ada keterlibatan elite Kabupaten Ende.

Publik sekadar mengingatkan Kapolres Ende berdasarkan pengalaman dalam kasus dugaan korupsi gratifikasi DPRD Ende. Nama-nama tetap sama dengan perilaku yang tidak berubah. Kasus dugaan korupsi gratifikasi bermula dari inisiatif DPRD Ende dalam Rancangan Perda Penyertaan Modal PDAM terjadi tahun 2015. Kasus ini mencuat ke publik (2016) dan dilaporkan ke Polres Ende (2017). Ada 7 anggota DPRD Ende yang diduga menerima suap atau gratifikasi dari Direktur PDAM Ende dalam kasus Perda Inisiatif Penyertaan Modal. Namun hingga detik ini, kasus gratifikasi masih mendekam di Polres Ende.

Bukti-bukti dan data sangat valid. Direktur PDAM Soedarsono sudah diperiksa berulang-ulang. Soedarsono telah mengakui pemberian SPPD kepada para terduga. Katanya, untuk kepentingan konsultasi Perda Inisiatif Penyertaan Modal kepada PDAM senilai Rp3,5 miliar (FP 2/10/2017). SPPD biasanya diberikan atasan kepada bawahan. Artinya, tujuh anggota DPRD Ende adalah bawahan Direktur PDAM Ende. Sebuah penghinaan level dewa kepada anggota DPRD. Tapi korupsi lebih nikmat dari kehormatan sebagai wakil rakyat.

  • Bagikan