Kapolres Kupang Dipra-peradilankan Mantan Kancab Bank NTT Oelmasi
KORANTIMOR.COM – KUPANG – Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Kupang di Pra-Peradilankan dan di PTUN-kan terkait cacat prosedur (mal procedure) dalam pemanggilan terlapor, JCNS dalam kasus ‘kredit topeng’ Rp 8,9 M di Bank NTT Kancab Oelamasi, Kabupaten Kupang.

Demikian dikatakan Pengacara JCNS, Samuel Haning, SH yang akrab disapa Paman Sam kepada wartawan di Palapa Resto, Senin (15/6/20) malam.
Menurut Haning, Surat panggilan kedua yang disertai Surat Perintah Membawa Paksa itu tidak sesuai petunjuk dalam Peraturan Kapolri (Perkapolri) Nomor 8 tahun 2009 Pasal 27 dan pasal 2. Kemudian pasal 56 KUHAP, Perkapolri dan UU No.30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
“Ini mal-proses. Cacat prosedur. Juga merupakan upaya menakut-nakuti dan intimidasi oleh Kepolisian Resort Kupang. Karena itu klien saya memutuskan untuk pra-peradilankan Kapolres Kupang. Kami juga mengugat TUN Penyidik Kepolisian Resort Kupang,” tandas Haning.
Haning menjelaskan, panggilan kedua terhadap kliennya disertai Surat Perintah Membawa Paksa mantan Kepala Cabang Bank NTT Oelamasi, JCNS oleh Penyidik Kepolisian Resort Kupang (Polres Kupang) untuk kepentingan penyelidikan dan atau penyidikan terkait kasus dugaan ‘kredit topeng’ Bank NTT Cabang Oelamasi. “Ini mal-prosedural alias cacat prosedur serta merupakan intimidasi terhadap terlapor. Karena itu kami mempra-peradilankan Kapolres Kota Kupang dan melakukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN),” ujarnya
Haning menilai ada kejanggalan karena kliennya dituduh dengan Undang-Undang Perbankan nomor 10 tahun 1998 pasal 49 ayat 1 dan 2 dengan ancaman hukuman 3 sampai 8 tahun, tetapi tanpa melalui prosedur-prosedur sebagaimana seharusnya dan menurutnya itu adalah mal-prosedural. “Ada tahapan-tahapan yang dilanggar/tidak dilalui oleh penyidik dalam penetapan tersangka terhadap kliennya. Ada mal-prosedural yakni adanya tahapan-tahapan yang dilanggar oleh penyidik dalam penetapan tersangka terhadap klien saya,” ujar Paman Sam.
Sebagai contoh, lanjut Paman Sam, Perkab Nomor 8 tahun 2009 pasal 27: bahwa seorang saksi, tersangka diperiksa harus didampingi penasehat hukum. Kemudian pasal 2 Perkab nomor 8 tahun 2019 bahwa kalau tanpa didampingi kuasa hukum, maka proses penyidikan itu tidak sah. “Kemudian klien saya dipanggil dan diperiksa tanggal 21 November 2019 (sesuai Surat Panggilan tanggal 19 November 2019) tanpa didampingi kuasa hukum,” tuturnya.
Lalu tanggal 23 Oktober 2019, lanjutnya, dikatakan bahwa ada Surat Perintah Dimulainya Penyelidikan (SPDP). “Tetapi setelah dicek, SPDP itu tidak pernah diberikan kepada terlapor,” ujar Paman Sam.
Padahal, jelasnya, sesuai Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130 tahun 2012 dikatakan bahwa ketika mengajukan SPDP, satu minggu sebelumnya SPDP itu sudah harus disampaikan kepada calon tersangka atau pelapor.
“Sayangnya, sejak dilakukannya pemeriksaan terhadap klien saya pada tanggal 23 Oktober s/d 21 November 2020, ternyata pada tanggal 4 Juni 2020, klien saya baru ditetapkan sebagai tersangka. Inilah acuan kita ketika kita mengatakan proses tersebut mal-prosedural atau proses penetapan tersangka terhadap klien saya itu cacat hukum,” paparnya.
Selain itu, sesuai Pasal 56 KUHAP itu, lanjut Paman Sam, perkara pidana dengan ancaman hukuman di atas 5 tahun wajib didampingi penasehat hukum. “Sementara dalam konteks kasus klien saya, Penyidik yang seharusnya menegakkan PERKAPOLRI justeru melanggar,” kritiknya.
Related Posts